SELAMAT DATANG

.

Pages

Rabu, 25 September 2013

Indahnya Cinta kerna Allah

“Tidaklah seseorang diantara kalian dikatakan
beriman, hingga dia mencintai sesuatu bagi
saudaranya sebagaimana dia mencintai sesuatu
bagi dirinya sendiri.” (Riwayat Bukhari dan
Muslim)
Secara nalar pecinta dunia, bagaimana mungkin
kita mengutamakan orang lain dibandingkan diri
kita? Secara hawa nafsu manusia, bagaimana
mungkin kita memberikan sesuatu yang kita
cintai kepada saudara kita?
Pertanyaan tersebut dapat terjawab melalui
penjelasan Ibnu Daqiiqil ‘Ied dalam syarah beliau
terhadap hadits diatas (selengkapnya, lihat
di Syarah Hadits Arba’in An-Nawawiyah ).
( “Tidaklah seseorang beriman” maksudnya
adalah -pen). Para ulama berkata, “yakni tidak
beriman dengan keimanan yang sempurna, sebab
jika tidak, keimanan secara asal tidak didapatkan
seseorang kecuali dengan sifat ini.”
Maksud dari kata “sesuatu bagi
saudaranya” adalah berupa ketaatan, dan
sesuatu yang halal. Hal ini sebagaimana
dijelaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh
An-Nasa’i.
“…hingga dia mencintai bagi saudaranya berupa
kebaikan sebagaimana dia mencintai jika hal itu
terjadi bagi dirinya.”
Syaikh Abu Amru Ibnu Shalah berkata, “Hal ini
terkadang dianggap sebagai sesuatu yang sulit
dan mustahil, padahal tidaklah demikian, karena
makna hadits ini adalah tidak sempurna iman
seseorang diantara kalian sehingga dia mencintai
bagi keislaman saudaranya sebagaimana dia
mencintai bagi dirinya. Menegakkan urusan ini
tidak dapat direalisasikan dengan cara menyukai
jika saudaranya mendapatkan apa yang dia
dapatkan, sehingga dia tidak turut berdesakan
dengan saudaranya dalam merasakan nikmat
tersebut dan tidak mengurangi kenikmatan yang
diperolehnya. Itu mudah dan dekat dengan hati
yang selamat, sedangkan itu sulit terjadi pada
hati yang rusak, semoga Allah Ta’ala memaafkan
kita dan saudara-saudara kita seluruhnya.”
Abu Zinad berkata, “Sekilas hadits ini
menunjukkan tuntutan persamaan (dalam
memperlakukan dirinya dan saudaranya), namun
pada hakekatnya ada tafdhil (kecenderungan
untuk memperlakukan lebih), karena manusia
ingin jika dia menjadi orang yang paling utama,
maka jika dia menyukai saudaranya seperti
dirinya sebagai konsekuensinya adalah dia akan
menjadi orang yang kalah dalam hal
keutamaannya. Bukankah anda melihat bahwa
manusia menyukai agar haknya terpenuhi dan
kezhaliman atas dirinya dibalas? Maka letak
kesempurnaan imannya adalah ketika dia
memiliki tanggungan atau ada hak saudaranya
atas dirinya maka dia bersegera untuk
mengembalikannya secara adil sekalipun dia
merasa berat.”
Diantara ulama berkata tentang hadits ini,
bahwa seorang mukmin satu dengan yang lain
itu ibarat satu jiwa, maka sudah sepantasnya dia
mencintai untuk saudaranya sebagaimana
mencintai untuk dirinya karena keduanya
laksana satu jiwa sebagaimana disebutkan
dalam hadits yang lain:
“Orang-orang mukmin itu ibarat satu jasad,
apabila satu anggota badan sakit, maka seluruh
jasad turut merasakan sakit dengan demam dan
tidak dapat tidur.” (HR. Muslim)
“Saudara” yang dimaksud dalam hadits tersebut
bukan hanya saudara kandung atau akibat
adanya kesamaan nasab/ keturunan darah,
tetapi “saudara” dalam artian yang lebih luas
lagi. Dalam Bahasa Arab, saudara kandung
disebut dengan Asy-Asyaqiiq ( ﺍﻟﺸَّّﻘِﻴْﻖُ). Sering
kita jumpa seseorang menyebut temannya yang
juga beragama Islam sebagai “Ukhti
fillah” (saudara wanita ku di jalan Allah). Berarti,
kebaikan yang kita berikan tersebut berlaku bagi
seluruh kaum muslimin, karena sesungguhnya
kaum muslim itu bersaudara.
Jika ada yang bertanya, “Bagaimana mungkin
kita menerapkan hal ini sekarang? Sekarang kan
jaman susah. Mengurus diri sendiri saja sudah
susah, bagaimana mungkin mau mengutamakan
orang lain?”
Wahai saudariku -semoga Allah senantiasa
menetapkan hati kita diatas keimanan-, jadilah
seorang mukmin yang kuat! Sesungguhnya
mukmin yang kuat lebih dicintai Allah. Seberat
apapun kesulitan yang kita hadapi sekarang,
ketahuilah bahwa kehidupan kaum muslimin saat
awal dakwah Islam oleh Rasulullah jauh lebih
sulit lagi. Namun kecintaan mereka terhadap
Allah dan Rasul-Nya jauh melebihi kesedihan
mereka pada kesulitan hidup yang hanya
sementara di dunia. Dengarkanlah pujian Allah
terhadap mereka dalam Surat Al-Hasyr:
“(Juga) bagi orang fakir yang berhijrah yang
diusir dari kampung halaman dan dari harta
benda mereka (karena) mencari karunia dari
Allah dan keridhaan-Nya dan mereka menolong
Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang
yang benar(ash-shodiquun). Dan orang-orang
yang telah menempati kota Madinah dan telah
beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka
(Muhajirin), mereka (Anshor) ‘mencintai’ orang
yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan
mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam
hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan
kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka
mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri
mereka sendiri, sekalipun mereka dalam
kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari
kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang
yang beruntung.” (QS. Al-Hasyr 8-9)
Dalam ayat tersebut Allah memuji kaum
Muhajirin yang berhijrah dari Makkah ke Madinah
untuk memperoleh kebebasan dalam
mewujudkan syahadat mereka an laa ilaha
illallah wa anna muhammadan rasulullah .
Mereka meninggalkan kampung halaman yang
mereka cintai dan harta yang telah mereka
kumpulkan dengan jerih payah. Semua demi
Allah! Maka, kaum muhajirin (orang yang
berhijrah) itu pun mendapatkan pujian dari Allah
Rabbul ‘alamin. Demikian pula kaum Anshar
yang memang merupakan penduduk Madinah.
Saudariku fillah, perhatikanlah dengan seksama
bagaimana Allah mengajarkan kepada kita
keutamaan orang-orang yang mengutamakan
saudara mereka. Betapa mengagumkan
sikap itsar (mengutamakan orang lain) mereka.
Dalam surat Al-Hasyr tersebur, Allah memuji
kaum Anshar sebagai Al-Muflihun (orang-orang
yang beruntung di dunia dan di akhirat) karena
kecintaan kaum Anshar terhadap kaum Muhajirin,
dan mereka mengutamakan kaum Muhajirin atas
diri mereka sendiri, sekalipun mereka (kaum
Anshar) sebenarnya juga sedang berada dalam
kesulitan. Allah Ta’aala memuji orang-orang
yang dipelihara Allah Ta’aala dari kekikiran
dirinya sebagai orang-orang yang beruntung.
Tidaklah yang demikian itu dilakukan oleh kaum
Anshar melainkan karena keimanan mereka yang
benar-benar tulus, yaitu keimanan kepada Dzat
yang telah menciptakan manusia dari tanah liat
kemudian menyempurnakan bentuk tubuhnya dan
Dia lah Dzat yang memberikan rezeki kepada
siapapun yang dikehendaki oleh-Nya serta
menghalangi rezeki kepada siapapun yang Dia
kehendaki.
Tapi, ingatlah wahai saudariku fillah, jangan
sampai kita tergelincir oleh tipu daya syaithon
ketika mereka membisikkan ke dada
kita “utamakanlah saudaramu dalam segala hal,
bahkan bila agama mu yang menjadi
taruhannya.” Saudariku fillah, hendaklah
seseorang berjuang untuk memberikan yang
terbaik bagi agamanya. Misalkan seorang laki-
laki datang untuk sholat ke masjid, dia pun
langsung mengambil tempat di shaf paling
belakang, sedangkan di shaf depan masih ada
tempat kosong, lalu dia berdalih “Aku
memberikan tempat kosong itu bagi saudaraku
yang lain. Cukuplah aku di shaf
belakang.” Ketahuilah, itu adalah tipu daya
syaithon! Hendaklah kita senantiasa berlomba-
lomba dalam kebaikan agama kita. Allah Ta’ala
berfirman:
“Maka berlomba-lombalah (dalam membuat)
kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah
akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari
kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas
segala sesuatu.” (QS. Al-Baqoroh: 148)
Berlomba-lombalah dalam membuat kebaikan
agama, bukan dalam urusan dunia. Banyak
orang yang berdalih dengan ayat ini untuk
menyibukkan diri mereka dengan melulu urusan
dunia, sehingga untuk belajar tentang makna
syahadat saja mereka sudah tidak lagi memiliki
waktu sama sekali. Wal iyadzu billah. Semoga
Allah menjaga diri kita agar tidak menjadi orang
yang seperti itu.
Wujudkanlah Kecintaan Kepada Saudaramu
Karena Allah
Mari kita bersama mengurai, apa contoh
sederhana yang bisa kita lakukan sehari-hari
sebagai bukti mencintai sesuatu bagi saudara
kita yang juga kita cintai bagi diri kita…
Mengucapkan Salam dan Menjawab Salam
Ketika Bertemu
“Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian
beriman, dan kalian tidak akan beriman sampai
kalian saling mencintai. Tidak maukah kalian
aku tunjukkan sesuatu yang jika kalian lakukan
maka kalian akan saling mencintai: Sebarkanlah
salam diantara kalian.” (HR. Muslim)
Pada hakekatnya ucapan salam merupakan do’a
dari seseorang bagi orang lain. Di dalam lafadz
salam “Assalaamu ‘alaikum warahmatullahi
wabarakaatuh” terdapat wujud kecintaan
seorang muslim pada muslim yang lain. Yaitu
keinginannya agar orang yang disapanya dengan
salam, bisa memperoleh keselamatan, rahmat,
dan barokah. Barokah artinya tetapnya suatu
kebaikan dan bertambah banyaknya dia.
Tentunya seseorang senang bila ada orang yang
mendo’akan keselamatan, rahmat, dan barokah
bagi dirinya. Semoga Allah mengabulkan do’a
tersebut. Saudariku fillah, bayangkanlah! Betapa
banyak kebahagiaan yang kita bagikan kepada
saudara kita sesama muslim bila setiap bertemu
dengan muslimah lain -baik yang kita kenal
maupun tidak kita kenal- kita senantiasa
menyapa mereka dengan salam. Bukankah kita
pun ingin bila kita memperoleh banyak do’a yang
demikian?! Namun, sangat baik jika seorang
wanita muslimah tidak mengucapkan salam
kepada laki-laki yang bukan mahromnya jika dia
takut akan terjadi fitnah. Maka, bila di jalan kita
bertemu dengan muslimah yang tidak kita kenal
namun dia berkerudung dan kita yakin bahwa
kerudung itu adalah ciri bahwa dia adalah
seorang muslimah, ucapkanlah salam
kepadanya. Semoga dengan hal sederhana ini,
kita bisa menyebar kecintaan kepada sesama
saudara muslimah. Insya Allah…
Bertutur Kata yang Menyenangkan dan
Bermanfaat
Dalam sehari bisa kita hitung berapa banyak
waktu yang kita habiskan untuk sekedar
berkumpul-kumpul dan ngobrol dengan teman.
Seringkali obrolan kita mengarah kepada ghibah/
menggunjing/bergosip. Betapa meruginya kita.
Seandainya, waktu ngobrol tersebut kita gunakan
untuk membicarakan hal-hal yang setidaknya
lebih bermanfaat, tentunya kita tidak akan
menyesal. Misalnya, sembari makan siang
bersama teman kita bercerita, “Tadi shubuh saya
shalat berjamaah dengan teman kost. Saya yang
jadi makmum. Teman saya yang jadi imam itu,
membaca surat Al-Insan. Katanya sih itu
sunnah. Memangnya apa sih sunnah
itu?” Teman yang lain menjawab, “Sunnah yang
dimaksud teman anti itu maksudnya ajaran
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Memang
disunnahkan untuk membaca Surat Al-Insan di
rakaat kedua shalat shubuh di hari
Jum’at.” Lalu, teman yang bertanya tadi pun
berkata, “Ooo… begitu, saya kok baru tahu ya…”
Subhanallah! Sebuah makan siang yang berubah
menjadi “majelis ilmu”, ladang pahala, dan ajang
saling memberi nasehat dan kebaikan pada
saudara sesama muslimah.
Mengajak Saudara Kita Untuk Bersama-Sama
Menghadiri Majelis ‘Ilmu
Dari obrolan singkat di atas, bisa saja kemudian
berlanjut, “Ngomong-ngomong, kamu tahu
darimana kalau membaca surat Al-Insan di
rakaat kedua shalat shubuh di hari Jum’at itu
sunnah?” Temannya pun menjawab, “Saya tahu
itu dari kajian.” Alhamdulillahbila ternyata
temannya itu tertarik untuk mengikuti
kajian, “Kalau saya ikut boleh nggak? Kayaknya
menyenangkan juga ya ikut kajian.” Temannya
pun berkata, “Alhamdulillah, insyaAllah kita bisa
berangkat sama-sama. Nanti saya jemput anti di
kost.”
Saling Menasehati, Baik Dengan Ucapan Lisan
Maupun Tulisan
Suatu saat ‘Umar radhiyallahu ‘anhu pernah
bertanya tentang aibnya kepada shahabat yang
lain. Shahabat itu pun menjawab bahwa dia
pernah mendengar bahwa ‘Umar radhiyallahu
‘anhu memiliki bermacam-macam lauk di meja
makannya. Lalu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu pun
berkata yang maknanya ‘Seorang teman sejati
bukanlah yang banyak memujimu, tetapi yang
memperlihatkan kepadamu aib mu (agar orang
yang dinasehati bisa memperbaiki aib tersebut.
Yang perlu diingat, menasehati jangan dilakukan
didepan orang banyak. Agar kita tidak tergolong
ke dalam orang yang menyebar aib orang lain.
Terdapat beberapa perincian dalam masalah ini -
pen).’ Bentuk nasehat tersebut, bukan hanya
secara lisan tetapi bisa juga melalui tulisan, baik
surat, artikel, catatan saduran dari kitab-kitab
ulama, dan lain-lain.
Saling Mengingatkan Tentang Kematian, Yaumil
Hisab, At-Taghaabun (Hari Ditampakkannya
Kesalahan-Kesalahan), Surga, dan Neraka
Sangat banyak orang yang baru ingin bertaubat
bila nyawa telah nyaris terputus. Maka, diantara
bentuk kecintaan seorang muslim kepada
saudaranya adalah saling mengingatkan tentang
kematian. Ketika saudaranya hendak berbuat
kesalahan, ingatkanlah bahwa kita tidak pernah
mengetahui kapan kita mati. Dan kita pasti tidak
ingin bila kita mati dalam keadaan berbuat dosa
kepada Allah Ta’ala.
Saudariku fillah, berbaik sangkalah kepada
saudari muslimah mu yang lain bila dia
menasehati mu, memberimu tulisan-tulisan
tentang ilmu agama, atau mengajakmu
mengikuti kajian. Berbaik sangkalah bahwa dia
sangat menginginkan kebaikan bagimu.
Sebagaimana dia pun menginginkan yang
demikian bagi dirinya. Karena, siapakah gerangan
orang yang senang terjerumus pada kubangan
kesalahan dan tidak ada yang mengulurkan
tangan padanya untuk menariknya dari
kubangan yang kotor itu? Tentunya kita akan
bersedih bila kita terjatuh di lubang yang kotor
dan orang-orang di sekeliling kita hanya melihat
tanpa menolong kita…
Tidak ada ruginya bila kita banyak
mengutamakan saudara kita. Selama kita
berusaha ikhlash, balasan terbaik di sisi Allah
Ta’ala menanti kita. Janganlah risau karena
bisikan-bisikan yang mengajak kita untuk “ingin
menang sendiri, ingin terkenal sendiri”. Wahai
saudariku fillah, manusia akan mati! Semua
makhluk Allah akan mati dan kembali kepada
Allah!! Sedangkan Allah adalah Dzat Yang Maha
Kekal. Maka, melakukan sesuatu untuk Dzat
Yang Maha Kekal tentunya lebih utama
dibandingkan melakukan sesuatu sekedar untuk
dipuji manusia. Bukankah demikian?
Janji Allah Ta’Ala Pasti Benar !
Saudariku muslimah -semoga Allah senantiasa
menjaga kita diatas kebenaran-, ketahuilah!
Orang-orang yang saling mencintai karena Allah
akan mendapatkan kemuliaan di Akhirat.
Terdapat beberapa Hadits Qudsi tentang hal
tersebut.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Allah
berfirman pada Hari Kiamat, “Dimanakah orang-
orang yang saling mencintai karena keagungan-
Ku pada hari ini? Aku akan menaungi mereka
dalam naungan-Ku pada hari yang tiada
naungan kecuali naungan-Ku.” (HR. Muslim;
Shahih)
Dari Abu Muslim al-Khaulani radhiyallahu ‘anhu
dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, ia
mengatakan: “Aku mendengar Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan dari
Rabb-nya, dengan sabdanya, ‘Orang-orang yang
bercinta (saling mencintai) karena Allah berada
di atas mimbar-mimbar dari cahaya dalam
naungan ‘Arsy pada hari yang tiada naungan
kecuali naungan-Nya.’”
Abu Muslim radhiyallahu
‘anhu melanjutkan, “Kemudian aku keluar hingga
bertemu ‘Ubadah bin ash-Shamit, lalu aku
menyebutkan kepadanya hadits Mu’adz bin
Jabal. Maka ia mengatakan, ‘Aku mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menceritakan dari Rabb-nya, yang berfirman,
‘Cinta-Ku berhak untuk orang-orang yang saling
mencintai karena-Ku, cinta-Ku berhak untuk
orang-orang yang saling tolong-menolong
karena-Ku, dan cinta-Ku berhak untuk orang-
orang yang saling berkunjung karena-Ku.’
Orang-orang yang bercinta (saling mencintai)
karena Allah berada di atas mimbar-mimbar dari
cahaya dalam naungan ‘Arsy pada hari tiada
naungan kecuali naungan-Nya.” (HR. Ahmad;
Shahih dengan berbagai jalan periwayatannya)
Dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, ia
menuturkan, Aku mendengar Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah
berfirman, ‘Orang-orang yang bercinta karena
keagungan-Ku, mereka mendapatkan mimbar-
mimbar dari cahaya sehingga para nabi dan
syuhada iri kepada mereka.” (HR. At-Tirmidzi;
Shahih)
Alhamdulillahilladzi bini’matihi
tatimmushshalihaat (artinya: “Segala puji bagi
Allah, dengan nikmat-Nyalah segala kebaikan
menjadi sempurna.” Do’a ini diucapkan
Rasulullah bila beliau mendapatkan hal yang
menyenangkan). Allah Ta’aala menyediakan bagi
kita lahan pahala yang begitu banyak. Allah
Ta’aala menyediakannya secara cuma-cuma
bagi kita. Ternyata, begitu sederhana cara untuk
mendapat pahala. Dan begitu mudahnya
mengamalkan ajaran Islam bagi orang-orang
yang meyakini bahwa esok dia akan bertemu
dengan Allah Rabbul ‘alamin sembari melihat
segala perbuatan baik maupun buruk yang telah
dia lakukan selama hidup di dunia. Persiapkanlah
bekal terbaik kita menuju Negeri Akhirat. Semoga
Allah mengumpulkan kita dan orang-orang yang
kita cintai karena Allah di Surga Firdaus Al-
A’laa bersama para Nabi, syuhada’, shiddiqin,
dan shalihin. Itulah akhir kehidupan yang paling
indah…
Muroja’ah: Ustadz Subhan Khadafi, Lc.
Maroji’:
1. Terjemah Syarah Hadits Arba’in An-
Nawawiyyah karya Ibnu Daqiiqil ‘Ied
2. Terjemah Shahih Hadits Qudsi karya
Syaikh Musthofa Al-’Adawi
3. Sunan Tirmidzi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar